Tuesday, June 29, 2010

Sex dan Diona

"Mungkin kita dilahirkan seperti Auriga dan Aquila. oh bukan! Lynx dan Pyxis!"

Kata-kata itu tak pernah hilang dari benakku walaupun sudah hampir sebelas setengah tahun yang lalu mulut manisnya menyuarakan hal itu. Diona, teman permainan sedari kecil yang juga harus cukup menderita dengan kehidupan nomaden dari Granada lalu Manhattan hingga singgah di negara asal Indonesia untuk melewati masa remaja. Bedanya mungkin, Moscow tanah lahirku, Kentucky tanah lahirnya.

Hebat, dia pintar tapi nakal. Princess Rebel, dia lah Diona. Tato pertamanya ditintakan saat dia umur.. ehm 14 tahun mungkin? Sebuah gugusan bintang utara tiga buah di bahu kanan nya. Katanya, satu bintang di antaranya aku, teman satu-satunya yang sama bahasa di antara bahasa Esmeralda atau Kapten Cook. Hahaha.

Diona beda 180 derajat celcius atau 32 derajat farenheit dengan Aurora. Kita bicara fashion.,Aurora terlalu manis terkadang. Errr, tidak juga. Tapi coba sandingkan dengan Diona si wanita urakan yang dandannya terlalu keren. Urakan? Sangat urakan. Katanya sih mau ikutan rock n roll. Haha. Tapi hati wanitanya masih tersisa, Diona pintar merajut. Satu sweater hangat kado natal darinya masih aku simpan.

Diona tidak percaya sinterklas, tapi mengagumi Bunda Maria. Minggu pagi, aku tunggu dia di cafe Tjemes lalu dia beribadah di seberangnya. Ramadhan, dia puasa makan di hadapanku tapi tak kuasa menghisap batangan rokok yang membuat nafasnya sengal perlahan.

Janji Virgin

Primary School, sekitar umur 11-12 tahun saat kami menyadari bahwa ternyata kami mulai butuh miniset. Hari itu di rumah Diona sepi, hanya aku dan dia. Kami lalu perlahan menonton sebuah acara televisi tentang Alejandro Santiago, aktor Spanyol yang berlogat khas dalam berbicara dan berbadan tinggi besar. Diona melirikku, aku tertawa dan teriak "DAMN, SEXY!". Diona lalu terbahak. Sejak saat itu aku selalu suka dengan lelaki bertubuh besar tinggi agak gemuk. Alejandro, mungkin dia penyebabnya. Haha.

Adegan selanjutnya adalah adegan bercinta antara Alejandro dengan Vertilina, kekasih gelapnya. Dimulai dengan rabaan halus, ciuman pelan, tangan Alejandro yang menjalar ke dada lalu perlahan dada Vertilina mulai naik turun seiring deru nafas nafsunya yang membuat ciuman makin menjadi. Turun, turun hingga bajunya turun ke lantai dan kasur mulai ditiduri pasangan haram itu. Adegan berakhir dengan munculnya gambar Vertilina dengan selimut yang menutupi dadanya menyandarkan kepala di dada telanjang Alejandro.

Kami saling menatap hingga akhirnya sejak itu kami tau sex itu apa. Esok harinya adegan itu ternyata terus melekat hingga Diona lalu menulis di sebuah buku tentang ke-virginitasan antara kami berdua. Disitu kami berikrar, kami akan selalu virgin sampai saatnya menikah. Kami akan selalu perawan sampai terikat janji pernikahan.

Pengakuan di Manhattan






SMA kelas 3 sehabis UAN. Hari itu minggu pagi saat dia mengajakku pergi mengisi liburan panjang tanpa jeda sambil menunggu masa menjadi mahasiswa. Balik ke Manhattan adalah pilihan, summer menjadi salah satu alasan.

"Kemana kita Di?"

"Kita ke Brooklyn, gue mau ke pantai"

Jadilah kami naik mobil menuju Manhattan Beach, menempuh waktu berjam-jam dengan tawa celaan lelaki konyol yang terus menjuruskan jari tengah kepada kami yang seksi. Haha. Diona tidak serius saat itu. Tidak. Dia ceria.

Sampai disana, dia lalu menggiringku duduk di ujung ombak. Jari kakiku akan tersapu ombak saat menjemurkan matahari. Lalu perlahan, ia hisap rokoknya dan nafasnya mulai terdengar serius.

"Hey, umur kita sekarang hampir 17. Gue dua bulan lagi, lo dua bulan sesudahnya"

"Iya.. Mau ngerayain sweet seventeen Di?"

"Ga tertarik. Lo?"

"Sama"

"Inget Alenjandro Vertilina?"

"Inget"

"Tumben! Haha"

"Otak gue terlalu baik, untuk adegan jahat dia selalu jadi short term memory, untuk adegan baik dia selalu long term. Untuk adegan panas, apalagi"

"Bodoh!"

Aku diam, mengingat lagi adegan panas itu. Sungguh, adegan itu sangat panas hingga hampir 5 tahun terlewati, masih saja mengundang birahi walaupun hanya berimajinasi. Haha

"Was that really a porn Di? I mean, oh god, that was so hot mayn!"

"I know.. Haha nope that was only telenovela"

"Hahaha"

"Ikrar virgin kita, inget ga lo?"

"Inget lah. Kenapa Di?"

"Dulu apa kita tau ya kalo ternyata realita lebih nikmat dari mimpi?"

"Bukannya terbalik? Many people say reality is much bitter than dream."

"Buat mereka, buat gue ga gitu"

Jeda, tak ada bicara.

"Gue berantem sama Dhika dua minggu yang lalu di rumahnya" sambung Di lagi.

"Kenapa?"

"Lo janji ga marah denger ini?"

"Kenapa dulu?"

"Janji dulu"

"Iya"

"Gue sakit perut, gue nolak nge-sex sama dia"

Oh Tuhan! Tuhan! Saat itu rasanya jantung berhenti lalu merosot pindah ke mata kaki. Diona?!

"Maafin gue Schan, maaf"

"Lo pake kondom kan Di?"

"Ga"

"TERUS?!"

"Dikeluarin di luar"

"Lo gila! Lo ga takut hamil?"

"Kan di luar"

"What happened between you both actually? Tell me!"

"I went to his house when no body's home. Kita ciuman di ranjang then dia bilang untuk nge-sex. Gue nolak, nolak lagi sampe ga tahan sendiri"

"Udah berapa kali?"

"Udah sering"

"Cum?"

"Nope, but he licked my nipple of course"

Aku diam. Janji itu sudah ingkar. Tak ada lagi ikrar antara Diona dan aku mulai detik itu.

"Keep your virginity, it's so precious. once you lost it, you will never ever get it, again. none sells virginity. otherwise I will surely buy it for millions dollar"

"Keep your relationship with Dhika, otherwise I will never ever forgive you again"

Realita

Umur 12 tahun untuk seorang Diona mungkin masih bermakna hingga dia sendiri yang menawarkan membuat ikrar tentang pentingnya keperawanan untuk selalu dijaga. Tapi waktu memberikan realita. Waktu mengajarkan dunia bahwa gambar panas di televisi belum ada apa-apanya dengan sensasi sperma yang masuk dari liang vagina menuju puncak birahi teratas penuh klimaks. Diona gagal menepati janjinya. Diona gagal memegang ikrarnya.

Diona gagal karena realita yang katanya lebih indah.

All teenagers knew this was true. The process of growing up was nothing more than figuring out what doors hadn’t yet been slammed in your face. For years, parents tell you that you can be anything, have anything, do anything. That was why she’d been so eager to grow up-until she got to adolescence and hit a big fat wall of reality.

Lalu aku? Terkejut. Terkejut melihat kenyataan bahwa realita bisa menghilangkan kewanitaan sahabat terbaikku. Realita menjawab semuanya bahwa seiring usia yang bertambah, seiring itu pula lah realita memberi banyak makna.

It's reality! And sometimes reality is the hardest thing to understand and the things that takes the longest to realize. Yet once it hits you in the face, you will never ever forget it. Never ever! It will always be there in your memories and sometimes that's the best way to look at it.