Tuesday, June 29, 2010

Aurora dan Tithonus

Pangeran Troy itu bernama Tithonus, lelaki gagah pemberani yang selalu setia menemaniku menjemput fajar menyingsing. Suaranya merdu, membuatku terbuai dengan suara petikan kecapinya sambil menunggu pagi. Tithonus begitu mencintaiku, mungkin dia lah pencinta nan sejati, namun sayangnya dia fana untuk diriku yang seorang dewi. Dia nanti punya batas usia, dia bisa mati. Tithonus hanya makhluk fana, bukan dewa.

Zeus, aku mencari dirinya. Aku ingin memohon agar setidaknya Tithonus immortal, tidak mengenal mati.

"Zeus yang perkasa, aku kira engkau pasti sudah menerka maksudku menghampirimu. Bukan begitu, Zeus?"

"Tithonus, Aurora? Pangeran Troy pemetik kecapi itu?"

"Tepat, Zeus. Kekasihku maha perkasa itu fana. Kau tau itu, bukan?"

Zeus terdiam, memberikan satu tatapan tajam pertanda tanya mendalam.

"Berikan keabadian untuk kekasihku wahai, Zeus. Agar setidaknya cinta kita abadi tak terpisahkan kata mati"

"Kau dimabuk cinta Aurora? Kau yakin cinta tidak mengenal penat untuk selalu abadi? Setia bisa kau sanggah tiangnya?"

"Aku percaya bisa, Zeus"

"Saling menerima dalam keriput dan waktu yang tak menua?"

"Begitu adanya, mungkin. Karena itu yang aku minta"

"Maka pulanglah. Pangeranmu immortal dalam satu kali fajar ke depan"

**

Tithonus abadi, seabadi cintanya. Kami berdua terus menjemput mentari setiap pagi diiringi alunan halus petikan kecapinya. Seratus tahun.. Lima ratus tahun.. Seribu tahun.. Hingga kusadari kulit Tithonus mengeriput, badannya merapuh tak setegap dulu. Matanya mulai sayu seiring dengan rambut-rambut yang berubah warna tak kuning emas lagi.

Oh Zeus, apa yang terjadi?

"Oh Zeus! Aku lupa! Aku lupa memohon muda yang abadi untuk Tithonus. Aku lupa memintamu merawat setiap darah mortalnya dalam keabadian. Dia tak lain makhluk fana yang lantas berubah karena permohonanku atas nama cinta. Oh Zeus! Ampuni kelalaianku, kabulkan lagi permohonanku!" batinku.

Tithonus melemah seiring detiknya hari. Dia tak lagi bisa menemaniku menjemput Sol di fajar, pun memetik kecapi yang suaranya mulai suar. Dia tidak bisa lagi menggerakan tubuh-tubuhnya. Dia hanya ingin berbaring menjauhi cermin, tak kuasa melihat bayangan menjijikan dari keimmortalannya. Aku pun begitu, tak kuasa melihatnya tersisa dengan kulit keriput menciut yang mulai menjijikan.

Maka ku baringkan dia di sebuah ruangan penuh sinar matahari, aku memohon Sol menghantarkan setiap pendar-pendar cahayanya pada kulitnya yang mulai menyisik. Di ruangan itu iya seperti tidak berhenti berbicara memohon kematian menghampirinya. Oh Zeus, dia tersiksa dengan cinta abadi yang aku minta. Dia tersiksa oleh hal yang seharusnya bisa membuat dewa-dewi bahagia.




Zeus, aku berlari menuju ke arahnya. Aku meminta ia memberikan sedikit darah dewa dalam aliran nadi Tithonus, kekasiku. Tak bisa, mustahil, aku gila, pekik Zeus padaku.

Oh Zeus, Oh Luna! Lalu aku harus apa?

"Aku hanya ingin dia tak tersiksa Zeus!"

"Terlambat Aurora, darahnya beku tak mengalir lagi seiring dengan jiwa abadi. Kau lalai dengan nafsumu hingga lupa tentang muda yang abadi"

"Ampuni aku! Aku turuti nafsu, memang itu salahku! Lalu aku hanya ingin dia tak lagi tersiksa rapuh, Oh Zeus!"

"Kau seorang dewi, Aurora. Kau seorang dewi sejati. Aku tahu kau kenal dirimu dan tahu harus berbuat apa untuk Tithonus"

Aku berlari kencang meninggalkan Zeus dengan air mata. Terbenak segala pagi yang aku dan Tithonus nikmati beratus-ratus tahun lamanya dengan pendaran-pendaran Sol sebelum tubuhnya merapuh dan kulitnya berubah kerut. Cinta dia abadi, tak sefana darahnya. Namun Zeus, haruskah aku juga korbankan cinta abadiku untuk dia yang tersiksa?

Dia tak berhenti mengucapkan kata mati. Seakan aku begitu salah dan dosa mencampurkan darah fananya dengan setetes darah dewa di aliran nadinya. Aku tak kuasa mengutuk diriku sendiri. Aku dewi pagi, dewi pembawa cahaya baru yang terus tak pernah mati. Aku dewi pagi yang harus terus menyambut fajar demi cahaya di bumi. Namun sekarang gelap, gelap seperti Luna menghilang dari bumi tak menyinarkan malam sepi.

Aku khilaf, tak harus aku ikuti nafsu tanpa logika demi cinta yang sesungguhnya fana. Cinta mengenal kata tua, mengenal kata mati. Saat Tithonus tersiksa seperti ini, ia tak mengenal cintanya lagi padaku si dewi pagi. Dia hanya ingin mati, jauh dari penyiksaan terhadap dirinya sendiri.

Oh Tithonus, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Demi cinta kita, aku akan membiarkanmu menjadi seekor belalang yang bermain di rerumputan segar, sayang. Cinta kita akan terus abadi, tak pandang aku dewi dan kau hanya seekor belalang. Aku ambil resiko abadi ini.. Maafkan aku Tithonus, tak seharusnya nafsu membuat kau tersiksa di atas luka penuaan abadi. Aku bukan Zeus yang bisa membuat kau lebih muda lagi, aku hanya dewi pagi yang ingin dicintai dengan abadi oleh dirimu yang makhluk fana. Cintaku abadi untuk dirimu Tithonus, abadi..


*Cerita ini diangkat dari sebuah cerita kuno mitologi Roman antara dewi pagi Aurora dengan Pangeran Troy Tithonus. Dalam mitologi Yunani, cerita hampir sama terjadi pada dewi pagi Eos. Kedua dewi ini mencintai lelaki immortal , yaitu Pangen Tithonus yang akhirnya dirubah oleh Aurora menjadi belalang (dalam versi Roman) atau jangkrik (dalam versi Yunani).

**
Sol : Dewi matahari,
Luna : Dewi bulan.
Zeus: Raja para dewa-dewi.