Wednesday, June 30, 2010

Lelaki Tua yang Gila

Hi! I'm at work now, just got back from freakish lunch. It's been raining cats and dogs in Spore whereas the sun was shining brightly this morning. Well, I wanna tell you about how bizzare my lunch time was. serius, ini bukan hanya aneh tapi menjurus ke.. absurd mungkin ya.

So.. 12 o'clock, the lunch time came. Tapi kerjaan gue masih agak numpuk, jadi gue tadi keluar makan siang sekitar jam setengah satuan. So.. gue hanya punya waktu sekitar 45 menit untuk makan siang. Gue inget kalo ada rapat plano sehabis makan siang, jadi gue ga boleh telat. Tapi.. I've been craving for pasta lately. Di otak gue cuma ada TCC untuk makan siang and it is quite far from my office. takes around 15 minutes to get there on foot. Plano mulai jam satu, ancang-ancang perhitungan waktu sih sempet. Yaudah, briefly I had my lunch there.

Tiba-tiba disaat sedang menikmati makan siang yang begitu nikmat, hujan datang begitu lebat. Sangat lebat. Wow, gue ga bawa payung. Serius ga bawa payung karena tadi pagi matahari sinar terang banget. Emang sih pas tadi keluar makan siang, ga panas-panas banget. Agak mendung. Tapi karena pagi tadi cerah-cerah aja, gue ga emang ga bawa payung dari rumah. Karena itu pula gue pake baju yang aga kebuka. Dress tanktop hitam dan heels 5 centi. Gue makan siang sendiri karena tadi gue telat kan. Ga ada yang bisa minjemin payung. Okay, makan siang cuma ngabisin waktu 10 menit. Gue langsung beranjak dari TCC untuk ke kantor.

Damn, the rain fell more heavy. Gue bingung harus gimana. Akhirnya gue nunggu di koridor jalan beratap deket bus stop. Angin gede banget, baju agak mulai basah. 5 menit.. 10 menit.. 15 menit.. sampai jam menyuarakan bunyi digital satu kali tanda jam satu siang. Aih, telat nih. 10 menit nunggu disitu, handphone bergetar. Paul called me.

"Aurora, we are about to start the meeting. Where are you?"

"Hei Paul, I just had my lunch at tcc. I got caught in the rain, I'm stuck at the bust stop waiting for the rain to tail off. or could someone get me an umbrella here? could you please fetch me up???"

"I can't. I'll give you 10 minutes. Hurry up! We need you. go!"

Err, bisanya nyuruh tapi ga mau usaha. Ga lucu banget kan kalo gue hujan-hujanan terus ngehadirin rapat dengan rambut dan baju basah. Hujan besar sekali masalahnya dan ga mungkin gue lari-lari keujanan.

Sampai udah sekitar setengah jam nunggu atau 10 menit setelah Paul telvon tadi, telvon bunyi lagi. Okay, Paul lagi.

"Aurora, plano has just started! Plano has just started" dengan nada panik.

"GET ME AN UMBRELLA! GET ME AN UMBRELLA!" gue bales lebih panik.

"None can get you there!"

"AND I CAN'T GO THERE WITHOUT UMBRELLA!"

Hah, gue mulai kesal, panik. Gue tidak suka dibuat keburu-buru gitu. Tapi hati was-was sekali karena ini rapat plano. Haih, ada-ada saja ya.

Hujan masih aja besar dan gue udah mulai letih berdiri tegak di ujung koridor selama hampir setengah jam. There was a garden nearby, and some porch chairs stood steadily there. yasudah gue jalan kesitu dan duduk disitu. Ada ibu-ibu berjilbab yang juga lagi nunggu hujan. Dia senyum, gue senyumin. Terus dia bisa nebak kalo gue orang Indonesia. Tumben. Haha. Kita pun jadi ngobrol-ngobrol sebentar.

Setelah sekitar 10 menit ngobrol sama Ibu itu, beliau pamitan karena katanya buru-buru. Yasudah gue sendiri. Menunggu hujan lebat dengan baju terbuka yang ternyata cukup dingin. Ah, sial. Hujan, kenapa tidak bilang sih mau turun, kan aku jadinya bisa bawa coat.

Lalu.. sesaat setelah itu datanglah seorang lelaki tua. Sangat tua. He happens to be chinese, apparently about 50 something years old. Rambutnya toh sudah menguning.

He sudden approached me and smiled at me. Ya gue senyumin balik dong ya. After that, he started to chit-chat with me. With all due respect, I didn't understand what he was saying AT ALL. sama sekali ga ngerti. Maaf, gigi ompongnya membuat pronunciation nya ga jelas. Ditambah suaranya kecil dan suara hujan cukup besar. Gue ga berhenti bilang "pardon?" again and again.

Basicly gue males banget ngeladenin dia. Bukan hanya karena gue ga tau dia ngomong apa, tapi juga, sorry with all due respect, he was so stinky. for heaven's sake, I can't stand it. Alasan gue menjawab pertanyaan-pertanyaannya adalah karena dia lebih tua dari gue. Gue menaruh hormat sama dia.

Gue mulai meraba-raba dia ngomong apa. Dia pamer baru beli satu kaleng susu anti osteoporosis terus dia minta gue untuk nebak berapa harganya.

Gue jawab, "$20?"

"No, higher higher!"

"$25?"

"Higher!"

Err.. berasa lagi ikut pelelangan gue.

"okay $40!"

"YOU ARE SMART! NO ONE COULD GUESSING THIS CORRECTLY!"

hemh, okay. HAHAHA. dan setelah dia mengoceh meneceritakan tentang produk susu itu, dia lagi-lagi mengajak gue bermain.

"Okay, now, guess where this milk is from"

gue jawab dengan yakin dan pasti "USA"

"OH YOU ARE SMART! HAHAHA YOU ARE GENIUS! NONE KNOWS WHERE IT IS FROM!"

"Hahahaha" *ketawa miris*

Ya iyalah gue tau. Satu, itu Nutrilife, dulu Ayah gue pernah minum itu juga. Dua, dibawah itu tertera dengan jelas ada tulisan made in U.S.A. Mata gue udah langsung menangkap tulisan itu sedari tadi. Haha. Lucu aja si kakek.

Ternyata mengajak gue bermain tebak-tebakan belum cukup. Dia mulai mempercayai gue untuk menceritakan masalah pribadi. Dimulailah sesi curhat..

Kakek : "My wife passed away 6 years ago"

gue membayangkan sebuah adegan komik dimana dia merenung tentang almarhum istrinya dengan diiringi lagu sendu. kebetulan hujan turun deras. pas banget.

Gue : "Oooh" *respon empati*

Kakek : "Yeah.. so now I live alone without someone else. All my children have been married and they abandon me"

Gue : "Oooooooh" *ini empati beneran*

Jatuhlah simpati gue kepada si kakek itu. Keliatan sih dia emang ga keurus. Jadilah sesi curhat itu berlanjut. Ini jeleknya gue, eh ga bagusnya, gue mudah banget simpati sama orang. Gue terlalu sensitif gitu. Keasyikan denger curhatnya sampe lupa plano. Hahaha tapi hujan ga berenti2 juga. Yah gimana coba.

Setelah curhatnya tiba-tiba ni kakek jadi nyerempet ke hal aneh-aneh.

Kakek : "Are you married?"

Gue : "No, I'm single"

Kakek : "I can't believe. you are smart, you are beautiful and you are single?"

Gue : "Hahaha" *ketawa miris sama diri sendiri*

lalu jeda agak lama. gue cuekin dia, gue menoleh dari hadapannya sok-sok melihat hujan. setelah agak lama dia mulai lagi bicara.

Kakek : "So.. can I get your telephone number?"

HAH?! HAH?! DIA GILA! Minta nomor telvon gue? Gue pura-pura ga denger. Gue berharap saat itu ada yang nelvon gue atau gimana yang membuat gue ga bisa ngobrol sama dia. Paul sial. Kalo dibutuhin aja ga nelvon. Berulang-ulang dia tanya lagi.

"What is your house number? We can be friends right?"

gue diem. devil gue mulai keluar jadi super judes.

"Hei, I don't say you must marry me but we can start to date from now bla bla bla"

dating? kakek-kakek phsyco.

"Hey I don't say you must marry me.. no! bla bla bla"

wtf.

"Hey lady, you are beautiful and smart. I adore you. I don't say you must marry me.."

WTF.

gue kabur. akhirnya gue memutuskan untuk ujan-ujanan ke kantor. tu kakek gila. phsyco, obssesed. gue lebih rela ujan-ujanan karena ngejauhin dia daripada karena ada rapat plano.
akhirnya sampe kantor dengan baju basah. ternyata plano diundur jadi besok karena peserta kurang dari setengah dari yang seharusnya. Alhamdulillah.

Gue lihat kalender, hari ini tanggal satu Juli. Gue berdoa semoga ini bukan pertanda jelek untuk 29 hari kedepan. Gue buka kompasiana, ada empat message ngantri.

ceko rolf
On: 1 Juli 2010 02:20

Nonaaa..
Kemana nih, kok ga keliatan?? :P

(2 kali dengan mesej sama)


dee dee
On: 1 Juli 2010 09:10

kenapa deh, rendy kalo komen udah kayak pidato? gw boleh komenin komen dia di postingan lo gak? pengen bilang gini,

“wah rendy, pasti jaman sma byk nyumbang piagam pemenang lomba pidato ya ke sekolahnya.”

:|



hendra vp
On: 1 Juli 2010 09:31

Hi…
Salam kenal..
Zeina ada YM?




Universe, could you please tell me what is the fucking wrong with me?


Bold Italic

Tuesday, June 29, 2010

Sex dan Diona

"Mungkin kita dilahirkan seperti Auriga dan Aquila. oh bukan! Lynx dan Pyxis!"

Kata-kata itu tak pernah hilang dari benakku walaupun sudah hampir sebelas setengah tahun yang lalu mulut manisnya menyuarakan hal itu. Diona, teman permainan sedari kecil yang juga harus cukup menderita dengan kehidupan nomaden dari Granada lalu Manhattan hingga singgah di negara asal Indonesia untuk melewati masa remaja. Bedanya mungkin, Moscow tanah lahirku, Kentucky tanah lahirnya.

Hebat, dia pintar tapi nakal. Princess Rebel, dia lah Diona. Tato pertamanya ditintakan saat dia umur.. ehm 14 tahun mungkin? Sebuah gugusan bintang utara tiga buah di bahu kanan nya. Katanya, satu bintang di antaranya aku, teman satu-satunya yang sama bahasa di antara bahasa Esmeralda atau Kapten Cook. Hahaha.

Diona beda 180 derajat celcius atau 32 derajat farenheit dengan Aurora. Kita bicara fashion.,Aurora terlalu manis terkadang. Errr, tidak juga. Tapi coba sandingkan dengan Diona si wanita urakan yang dandannya terlalu keren. Urakan? Sangat urakan. Katanya sih mau ikutan rock n roll. Haha. Tapi hati wanitanya masih tersisa, Diona pintar merajut. Satu sweater hangat kado natal darinya masih aku simpan.

Diona tidak percaya sinterklas, tapi mengagumi Bunda Maria. Minggu pagi, aku tunggu dia di cafe Tjemes lalu dia beribadah di seberangnya. Ramadhan, dia puasa makan di hadapanku tapi tak kuasa menghisap batangan rokok yang membuat nafasnya sengal perlahan.

Janji Virgin

Primary School, sekitar umur 11-12 tahun saat kami menyadari bahwa ternyata kami mulai butuh miniset. Hari itu di rumah Diona sepi, hanya aku dan dia. Kami lalu perlahan menonton sebuah acara televisi tentang Alejandro Santiago, aktor Spanyol yang berlogat khas dalam berbicara dan berbadan tinggi besar. Diona melirikku, aku tertawa dan teriak "DAMN, SEXY!". Diona lalu terbahak. Sejak saat itu aku selalu suka dengan lelaki bertubuh besar tinggi agak gemuk. Alejandro, mungkin dia penyebabnya. Haha.

Adegan selanjutnya adalah adegan bercinta antara Alejandro dengan Vertilina, kekasih gelapnya. Dimulai dengan rabaan halus, ciuman pelan, tangan Alejandro yang menjalar ke dada lalu perlahan dada Vertilina mulai naik turun seiring deru nafas nafsunya yang membuat ciuman makin menjadi. Turun, turun hingga bajunya turun ke lantai dan kasur mulai ditiduri pasangan haram itu. Adegan berakhir dengan munculnya gambar Vertilina dengan selimut yang menutupi dadanya menyandarkan kepala di dada telanjang Alejandro.

Kami saling menatap hingga akhirnya sejak itu kami tau sex itu apa. Esok harinya adegan itu ternyata terus melekat hingga Diona lalu menulis di sebuah buku tentang ke-virginitasan antara kami berdua. Disitu kami berikrar, kami akan selalu virgin sampai saatnya menikah. Kami akan selalu perawan sampai terikat janji pernikahan.

Pengakuan di Manhattan






SMA kelas 3 sehabis UAN. Hari itu minggu pagi saat dia mengajakku pergi mengisi liburan panjang tanpa jeda sambil menunggu masa menjadi mahasiswa. Balik ke Manhattan adalah pilihan, summer menjadi salah satu alasan.

"Kemana kita Di?"

"Kita ke Brooklyn, gue mau ke pantai"

Jadilah kami naik mobil menuju Manhattan Beach, menempuh waktu berjam-jam dengan tawa celaan lelaki konyol yang terus menjuruskan jari tengah kepada kami yang seksi. Haha. Diona tidak serius saat itu. Tidak. Dia ceria.

Sampai disana, dia lalu menggiringku duduk di ujung ombak. Jari kakiku akan tersapu ombak saat menjemurkan matahari. Lalu perlahan, ia hisap rokoknya dan nafasnya mulai terdengar serius.

"Hey, umur kita sekarang hampir 17. Gue dua bulan lagi, lo dua bulan sesudahnya"

"Iya.. Mau ngerayain sweet seventeen Di?"

"Ga tertarik. Lo?"

"Sama"

"Inget Alenjandro Vertilina?"

"Inget"

"Tumben! Haha"

"Otak gue terlalu baik, untuk adegan jahat dia selalu jadi short term memory, untuk adegan baik dia selalu long term. Untuk adegan panas, apalagi"

"Bodoh!"

Aku diam, mengingat lagi adegan panas itu. Sungguh, adegan itu sangat panas hingga hampir 5 tahun terlewati, masih saja mengundang birahi walaupun hanya berimajinasi. Haha

"Was that really a porn Di? I mean, oh god, that was so hot mayn!"

"I know.. Haha nope that was only telenovela"

"Hahaha"

"Ikrar virgin kita, inget ga lo?"

"Inget lah. Kenapa Di?"

"Dulu apa kita tau ya kalo ternyata realita lebih nikmat dari mimpi?"

"Bukannya terbalik? Many people say reality is much bitter than dream."

"Buat mereka, buat gue ga gitu"

Jeda, tak ada bicara.

"Gue berantem sama Dhika dua minggu yang lalu di rumahnya" sambung Di lagi.

"Kenapa?"

"Lo janji ga marah denger ini?"

"Kenapa dulu?"

"Janji dulu"

"Iya"

"Gue sakit perut, gue nolak nge-sex sama dia"

Oh Tuhan! Tuhan! Saat itu rasanya jantung berhenti lalu merosot pindah ke mata kaki. Diona?!

"Maafin gue Schan, maaf"

"Lo pake kondom kan Di?"

"Ga"

"TERUS?!"

"Dikeluarin di luar"

"Lo gila! Lo ga takut hamil?"

"Kan di luar"

"What happened between you both actually? Tell me!"

"I went to his house when no body's home. Kita ciuman di ranjang then dia bilang untuk nge-sex. Gue nolak, nolak lagi sampe ga tahan sendiri"

"Udah berapa kali?"

"Udah sering"

"Cum?"

"Nope, but he licked my nipple of course"

Aku diam. Janji itu sudah ingkar. Tak ada lagi ikrar antara Diona dan aku mulai detik itu.

"Keep your virginity, it's so precious. once you lost it, you will never ever get it, again. none sells virginity. otherwise I will surely buy it for millions dollar"

"Keep your relationship with Dhika, otherwise I will never ever forgive you again"

Realita

Umur 12 tahun untuk seorang Diona mungkin masih bermakna hingga dia sendiri yang menawarkan membuat ikrar tentang pentingnya keperawanan untuk selalu dijaga. Tapi waktu memberikan realita. Waktu mengajarkan dunia bahwa gambar panas di televisi belum ada apa-apanya dengan sensasi sperma yang masuk dari liang vagina menuju puncak birahi teratas penuh klimaks. Diona gagal menepati janjinya. Diona gagal memegang ikrarnya.

Diona gagal karena realita yang katanya lebih indah.

All teenagers knew this was true. The process of growing up was nothing more than figuring out what doors hadn’t yet been slammed in your face. For years, parents tell you that you can be anything, have anything, do anything. That was why she’d been so eager to grow up-until she got to adolescence and hit a big fat wall of reality.

Lalu aku? Terkejut. Terkejut melihat kenyataan bahwa realita bisa menghilangkan kewanitaan sahabat terbaikku. Realita menjawab semuanya bahwa seiring usia yang bertambah, seiring itu pula lah realita memberi banyak makna.

It's reality! And sometimes reality is the hardest thing to understand and the things that takes the longest to realize. Yet once it hits you in the face, you will never ever forget it. Never ever! It will always be there in your memories and sometimes that's the best way to look at it.


Aurora dan Tithonus

Pangeran Troy itu bernama Tithonus, lelaki gagah pemberani yang selalu setia menemaniku menjemput fajar menyingsing. Suaranya merdu, membuatku terbuai dengan suara petikan kecapinya sambil menunggu pagi. Tithonus begitu mencintaiku, mungkin dia lah pencinta nan sejati, namun sayangnya dia fana untuk diriku yang seorang dewi. Dia nanti punya batas usia, dia bisa mati. Tithonus hanya makhluk fana, bukan dewa.

Zeus, aku mencari dirinya. Aku ingin memohon agar setidaknya Tithonus immortal, tidak mengenal mati.

"Zeus yang perkasa, aku kira engkau pasti sudah menerka maksudku menghampirimu. Bukan begitu, Zeus?"

"Tithonus, Aurora? Pangeran Troy pemetik kecapi itu?"

"Tepat, Zeus. Kekasihku maha perkasa itu fana. Kau tau itu, bukan?"

Zeus terdiam, memberikan satu tatapan tajam pertanda tanya mendalam.

"Berikan keabadian untuk kekasihku wahai, Zeus. Agar setidaknya cinta kita abadi tak terpisahkan kata mati"

"Kau dimabuk cinta Aurora? Kau yakin cinta tidak mengenal penat untuk selalu abadi? Setia bisa kau sanggah tiangnya?"

"Aku percaya bisa, Zeus"

"Saling menerima dalam keriput dan waktu yang tak menua?"

"Begitu adanya, mungkin. Karena itu yang aku minta"

"Maka pulanglah. Pangeranmu immortal dalam satu kali fajar ke depan"

**

Tithonus abadi, seabadi cintanya. Kami berdua terus menjemput mentari setiap pagi diiringi alunan halus petikan kecapinya. Seratus tahun.. Lima ratus tahun.. Seribu tahun.. Hingga kusadari kulit Tithonus mengeriput, badannya merapuh tak setegap dulu. Matanya mulai sayu seiring dengan rambut-rambut yang berubah warna tak kuning emas lagi.

Oh Zeus, apa yang terjadi?

"Oh Zeus! Aku lupa! Aku lupa memohon muda yang abadi untuk Tithonus. Aku lupa memintamu merawat setiap darah mortalnya dalam keabadian. Dia tak lain makhluk fana yang lantas berubah karena permohonanku atas nama cinta. Oh Zeus! Ampuni kelalaianku, kabulkan lagi permohonanku!" batinku.

Tithonus melemah seiring detiknya hari. Dia tak lagi bisa menemaniku menjemput Sol di fajar, pun memetik kecapi yang suaranya mulai suar. Dia tidak bisa lagi menggerakan tubuh-tubuhnya. Dia hanya ingin berbaring menjauhi cermin, tak kuasa melihat bayangan menjijikan dari keimmortalannya. Aku pun begitu, tak kuasa melihatnya tersisa dengan kulit keriput menciut yang mulai menjijikan.

Maka ku baringkan dia di sebuah ruangan penuh sinar matahari, aku memohon Sol menghantarkan setiap pendar-pendar cahayanya pada kulitnya yang mulai menyisik. Di ruangan itu iya seperti tidak berhenti berbicara memohon kematian menghampirinya. Oh Zeus, dia tersiksa dengan cinta abadi yang aku minta. Dia tersiksa oleh hal yang seharusnya bisa membuat dewa-dewi bahagia.




Zeus, aku berlari menuju ke arahnya. Aku meminta ia memberikan sedikit darah dewa dalam aliran nadi Tithonus, kekasiku. Tak bisa, mustahil, aku gila, pekik Zeus padaku.

Oh Zeus, Oh Luna! Lalu aku harus apa?

"Aku hanya ingin dia tak tersiksa Zeus!"

"Terlambat Aurora, darahnya beku tak mengalir lagi seiring dengan jiwa abadi. Kau lalai dengan nafsumu hingga lupa tentang muda yang abadi"

"Ampuni aku! Aku turuti nafsu, memang itu salahku! Lalu aku hanya ingin dia tak lagi tersiksa rapuh, Oh Zeus!"

"Kau seorang dewi, Aurora. Kau seorang dewi sejati. Aku tahu kau kenal dirimu dan tahu harus berbuat apa untuk Tithonus"

Aku berlari kencang meninggalkan Zeus dengan air mata. Terbenak segala pagi yang aku dan Tithonus nikmati beratus-ratus tahun lamanya dengan pendaran-pendaran Sol sebelum tubuhnya merapuh dan kulitnya berubah kerut. Cinta dia abadi, tak sefana darahnya. Namun Zeus, haruskah aku juga korbankan cinta abadiku untuk dia yang tersiksa?

Dia tak berhenti mengucapkan kata mati. Seakan aku begitu salah dan dosa mencampurkan darah fananya dengan setetes darah dewa di aliran nadinya. Aku tak kuasa mengutuk diriku sendiri. Aku dewi pagi, dewi pembawa cahaya baru yang terus tak pernah mati. Aku dewi pagi yang harus terus menyambut fajar demi cahaya di bumi. Namun sekarang gelap, gelap seperti Luna menghilang dari bumi tak menyinarkan malam sepi.

Aku khilaf, tak harus aku ikuti nafsu tanpa logika demi cinta yang sesungguhnya fana. Cinta mengenal kata tua, mengenal kata mati. Saat Tithonus tersiksa seperti ini, ia tak mengenal cintanya lagi padaku si dewi pagi. Dia hanya ingin mati, jauh dari penyiksaan terhadap dirinya sendiri.

Oh Tithonus, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Demi cinta kita, aku akan membiarkanmu menjadi seekor belalang yang bermain di rerumputan segar, sayang. Cinta kita akan terus abadi, tak pandang aku dewi dan kau hanya seekor belalang. Aku ambil resiko abadi ini.. Maafkan aku Tithonus, tak seharusnya nafsu membuat kau tersiksa di atas luka penuaan abadi. Aku bukan Zeus yang bisa membuat kau lebih muda lagi, aku hanya dewi pagi yang ingin dicintai dengan abadi oleh dirimu yang makhluk fana. Cintaku abadi untuk dirimu Tithonus, abadi..


*Cerita ini diangkat dari sebuah cerita kuno mitologi Roman antara dewi pagi Aurora dengan Pangeran Troy Tithonus. Dalam mitologi Yunani, cerita hampir sama terjadi pada dewi pagi Eos. Kedua dewi ini mencintai lelaki immortal , yaitu Pangen Tithonus yang akhirnya dirubah oleh Aurora menjadi belalang (dalam versi Roman) atau jangkrik (dalam versi Yunani).

**
Sol : Dewi matahari,
Luna : Dewi bulan.
Zeus: Raja para dewa-dewi.


Aku, Aurora

Panggil aku Aurora. Jangan tanya mengapa, aku hanya ingin kau mengenalku sebagai Aurora.

Aku memang bukan fenomena pancaran cahaya interaksi antara medan magnetik bumi dengan partikel matahari yang lalu membiaskan pancaran warna surgawi.










Aku juga bukan seorang dewi fajar yang diceritakan dalam mitologi Yunani. Bukan, aku bukan dia yang selalu memperbaharui dirinya di pagi hari, terbang dengan keelokannya menjelajah bumi untuk teriknya nuansa pagi.



Tapi mungkin aku perpaduan keduanya. Aku mungkin seorang dewi untuk dewa disana yang suka bermain dengan warna. Fenomena aurora menginspirasiku dalam berkarya. Dan Tithonus menjadikan aku Aurora.

Once more the old mysterious glimmer steals
From thy pure brows, and from thy shoulders pure,
And bosom beating with a heart renewed.
Thy cheek begins to redden through the gloom,
Thy sweet eyes brighten slowly close to mine,
Ere yet they blind the stars, and the wild team
Which love thee, yearning for thy yoke, arise,
And shake the darkness from their loosened manes,
And beat the twilight into flakes of a fire
Dan aku adalah Aurora..









*foto fenomena Aurora dan Dewi Aurora diunduh dari Google.